Sejarah kita mendukung kepada masyarakat kita untuk tidak tergila-gila pada aksara. Pada jaman kerajaan terutama pada masa hindu-buda terjadi diskriminasi yaitu dengan munculnya sistem sosial berupa kasta yang mengakibatkan tercipta sebuah doktrin dalam masyarakat bahwa rakyat jelata tidak memiliki hak sebagaimana bangsawan menuntut ilmu. maka karena kebiasaan itulah munculnya budaya Sastra lesan yang menyebar secara turun-temurun. karena budaya lesan maka tidak mustahil kalau ketika dari satu bibir ke bibir informasi yang tersampai mengalami perubahan karena akibat penurunan daya tangkap dan gaya penyampaian yang tidak sama. Baru pada jaman Kerajaan Islam budaya baca mengalami perkembangan karena banyak pesantren yang dibuka untuk rakyat bawah yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan religius bernafaskan islam, maka tidak mustahil banyak kita jumpai peninggalan berupa tulisan arap melayu, menggunakan aksara arab tetapi berbahasa melayu atau jawa yang tidak kita jumpai di negara-negara arab selain tulisan dari Jaman Hindu-Buda berbahasa Sansekerta.
Walau kita kalah dalam hal tulis, tapi bukan berarti kita kalah telak. Karena di daerah-daerah di Indonesia dapat kita jumpai sastra tulis misal di Jawa muncul Guritan dan Geguritan. Memang dari segi teori hampir saja kita selalu kalah dengan barat namun dalam teater kita memiliki potensi yang perlu diperhitungkan, misal munculnya Ludruk, Ketoprak, Wayang Orang, Wayang Kulit, Wayang Golek, Janger dan lain-lain merupakan bukti Teater Indonesia tidak kalah dengan barat.
Pengertian Teater
Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung
pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam
pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana
teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong,
sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya (Harrymawan,
1993). Namun demikian, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal
dari kata Yunani Kuno “draomai” yang berarti bertindak
atau berbuat dan “drame” yang berasal dari kata Perancis yang diambil
oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang
kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius
yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan
mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno
(4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater”
dan “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap
teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau
lakon atau karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater”
berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon
atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari
drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh
penonton. Jika “drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka
“drama” merupakan bagian atau salah satu unsur dari “teater”. Jika digambarkan
maka peta kedudukan teater dan drama adalah sebagai berikut
Dengan kata
lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam
seni pertunjukan (to act) sehingga tindak- tanduk pemain di atas pentas
disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran”
yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas
beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain
wanita disebut actress (Harymawan,
1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum
digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan
teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan
digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam
pertujukan teater. Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah
sandiwara atau tonil
(dari bahasa Belanda: Het Toneel). Rombongan teater pada masa itu
menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama.
Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara
masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal
setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006). Istilah Sandiwara
konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata
sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan
“wara” atau “warah” yang berarti, “pengajaran”. Menurut Ki
Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang dilakukan dengan
perlambang” (Harymawan, 1993).
- Sejarah Teater
Macam-macam Teater Tradisional Indonesia
- ketoprak,
- ludruk,
- wayang,
- wayang wong,
- sintren,
- janger,
- mamanda,
- dagelan,
- Dll
0 Response to "Teater ku teater mu juga"
Post a Comment